DAMPAK REVOLUSI SOSIAL DI PANTAI TIMUR


Sebelum resmi menjadi negara bagian, Sumatera Timur (ST) dikenal dengan daerah yang memiliki beberapa wilayah kerajaan seperti Kerajaan Langkat, Kerajaan Deli, Kerajaan Serdang, (kini Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai), Kerajaan Asahan, Kedatukan di Batubara, Kerajaan Panai, Kerajaan Bilah, Kerajaan Kota Pinang dan Kerajaan Kualuh-Leidong di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Labuhan Batu, Kerajaan Simalungun dan kerajaan-kerajaan lain di Tanah Tinggi Karo (Sinar: i). Banyak sejarah penting mengiringi perjalanan ST, yang paling meninggalkan jejak karena dianggap sebagai peristiwa paling kejam hingga saat ini adalah Revolusi Sosial Sumatera Timur (Aziddin, 1948: 6), sebuah gerakan sosial di ST oleh rakyat terhadap penguasa Kesultanan Melayu yang mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme, anti dengan sistem sosial politik yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan.
Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota keluarga Kesultanan Melayu, yang dikenal pro-Belanda namun juga golongan menengah pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Banyak bangsawan meregang nyawa dengan cara brutal. Dan yang paling „berdarah‟ adalah Kerajaan Langkat  Terjadinya Revolusi Sosial di Langkat, bermula saat Soekarno-Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Kabar tersebut sampai di Langkat setelah utusan dari Sumatera, M. Amir dan Tengku Hassan kembali dari Jawa. Setelah informasi kemerdekaan tersebut menyebar di ST, barulah pada 4 Oktober 1945 bendera Merah Putih dikibarkan di Sumatera dan sekitarnya (Pandji Ra’jat, 1947).
 Pada 5 Oktober 1945, Sultan Mahmud yang saat itu menjabat sebagai pimpinan Istana Kerajaan Langkat kemudian menyatakan penggabungan negaranya dengan Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, sejak tanggal 22 Oktober 1945, beberapa tentara Sekutu menduduki beberapa tempat penting untuk melucuti senjata dan memulangkan tentara Jepang. Operasi tersebut dimulai dari Gebang, Berahrang, hingga ke beberapa tempat lainnya. Pada akhir tahun, tentara Sekutu melakukan razia di Tebingtinggi, dan mengadakan kunjungan kehormatan kepada Sultan Langkat yang saat itu sebagai penguasa daerah. Kemudia kaum Komunis dan Kaum Kiri lainnya menggunakan peristiwa ini sebagai fitnah adanya konspirasi bahwa Sultan Langkat adalah orang yang anti Republik (Sinar: 492-493). Walaupun, pada beberapa literatur mengataan penyebab revolusi sosial adalah lalainya para Sultan dan Raja menjalankan sistem pemerintahan baru, yaitu demokrasi yang telah dijanjikan sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia (Prihantoro, 1984: 167) Gesekan dan perang dingin antara Kerajaan Langkat dengan laskarlaskarpun terjadi, hingga ketegangan memuncak pada 3 Maret 1946. Malam itu, Bupati Tengku Amir Hamzah beserta seluruh pembesar kerajaan diculik dan dibawa ke Kebon Lada (daerah Pungai). Amir Hamzah adalah Pangeran Langkat Hilir sekaligus seorang penyair besar yang turut menggelorakan gerakan anti 3 kolonialisme melalui gagasan Indonesia. Mereka kemudian disiksa dan dipancung oleh algojo Mandor Iyang, orang yang pernah mengabdikan diri di Istana Kerajaan Langkat (Sinar: 494).
Akan tetapi, Sultan Mahmud tak turut dibunuh. Ia ditangkap dan diasingkan hingga kemudian wafat karena sakit. Dari artikel Maret Berdarah di Sumatera Timur, 67 Tahun Silam yang dipublikasikan oleh media online lenteratimur.com pada 19 Maret 2013, dijelaskan bahwa kedua putri Sultan Mahmud sempat diperkosa di depan Sultan Mahmud sendiri, dan kisah pemerkosaan itu menjadi cerita turun temurun di keluarga mereka hingga saat ini. Pada memoar itu juga tercantum kutipan dari Tengku Amaliah, istri Tengku Amir Hamzah, yang menceritakan kisah suaminya yang diculik. Kutipan itu diambil dari buku hariannya.  Kini, jika berkunjung ke Mesjid Azizi di Tanjung Pura, Sumatera Utara, kita akan menemukan makam Tengku Amir Hamzah dan petinggi Kerajaan Melayu lainnya, yang telah dipindahkan dari kuburan korban pembantaian di Kebon Lada pada tahun 1948 lalu. Itulah alasan mengapa Aziddin dalam bukunya Revolutie Antie Sociaal (1948) mengatakan bahwa hari itu adalah hari yang tidak boleh dilupakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Ia menyebutnya sebagai hari paling jahat dan paling kejam yang dilakukan oleh Volksfront. Volksfront adalah front rakyat yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia. Mereka juga kerap disebut-sebut berasal dari Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Ku Tui Sin Tai (Barisan Harimau Liar), Hizbullah, dan buruh-buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani
Dari rentetan peristiwa yang terjadi di ST saat terjadi revolusi sosial, khususnya di Langkat, sudah barang tentu media yang ada pada saat itu turut ambil peran, baik itu sebagai pelapor, interpreter, wakil publik, watchdog, ataupun advokator. Yang (idealnya) melaporkan peristiwa-peristiwa yang di luar pengetahuan masyarakat dengan netral tanpa prasangka. Para wartawan pun terjun langsung ke tempat kejadian sebagai pengamat pertama, dengan persepsi dan interpretasi berbeda-beda untuk kemudian disebarluaskan melalui media massa tempat ia bekerja. Media massa adalah agen sosialisasi sekunder yang dampak penyebarannya paling luas dibanding agen sosialisasi lain. Meskipun dampak yang diberikan media massa tidak secara langsung terjadi, namun cukup signifikan dalam memengaruhi seseorang, baik dari segi kognisi, afeksi maupun konatifnya Media massa memiliki peran besar dalam membentuk opini masyarakat tentang tokoh atau sekelompok orang tertentu. Pesan yang terus disampaikan melalui simbol-simbol atau istilah tertentu secara berulang-ulang dapat membentuk pandangan tersendiri bagi masyarakat. Pandangan ini bisa positif atau negatif. Pencitraan yang sudah begitu melekat dalam masyarakat ini kemudian berkembang menjadi stereotip yang kemudian diteruskan intra dan inter generasi. egitu halnya dengan Revolusi Sosial Sumatera Timur, khususnya di Langkat. Pandangan yang berkembang dari peristiwa tersebut adalah terhapusnya sistem kerajaan yang ada merupakan keinginan kelompok tertentu yang menganut 4 paham antifeodal, dengan membunuh para petinggi Kesultanan Melayu. Lantas informasi itulah yang berkembang di masyarakat, dengan latar belakang peristiwa yang bermacam-macam

Maret 1946 Pergolakan politik di Sumatera Timur mencapai klimaksnya pada 3 Maret 1946. Kecuali kesultanan Serdang, seluruh kesultanan Melayu di Sumatera Timur dibantai oleh segerombolan pemuda yang mengatasnamakan berbagai kelompok. Dari sejumlah kesultanan Melayu tersebut, kesultanan Langkat dan Asahan adalah yang paling parah mengalaminya. Karena itu, hanya peristiwa di dua kesultanan itu saja yang akan dipaparkan disini, untuk mewakili dari keseluruhan kesultanan yang menjadi korban pembantaian. 
Kesultanan Langkat Aksi pengganasan dilakukan di Binjai dan Tg. Pura yang dipimpin oleh oknum dari Pesindo dan PKI dimana terjadi serangkaian pembunuhan, pemerkosaan dan perampokan, terutama dalangnya pimpinan komunis Marwan dan Usman Parinduri. Kota Binjai adalah ibukota administrasi asisten residen (kabupaten) Langkat sedangkan Tanjung Pura, dimana Sultan angkat juga ada istana adalah ibukota kesultanan yang disebut “Darul Aman”. Tengku Amir Hamzah, yang dikenal sebagai penyair, adalah menantu Sultan yang juga Bupati Langkat yang diangkat oleh Gubernur Hasan tanggal 29 Oktober 1945. 

Pada pagi hari tanggal 3 Maret 1946, sebuah delegasi dari “volksfront” datang ke kantor kerapatan Sultan di Binjai. Mereka memaksa agar pemerintahan di wilayah Binjai diserahkan kepada mereka yang atas nasehat TAmir Hamzah kepada Tengku Putera Aziz (adik Sultan), permintaan itu dikabulkan. Selain menyerahkan kekuasaan, Pesindo juga menuntut dihapuskannya kerajaan Langkat. Atas tuntutan itu, tengku Pangeran Kamil yang mewakili kerajaan Langkat mengutarakan pendapat jika itulah yang dikehendaki oleh seluruh rakyat, itu mudah dilakukan melewati peraturan yang ada di RI ini. (disarikan dari Luckman Sinar : 492-493) 

Kisah ini tercatat dalam buku harian Tengku Amaliah yang merupakan istri Amir Hamzah. Ia menceritakan saat suaminya diculik. “Suatu pagi di bulan Maret 1946, serombongan barisan pemuda berbaris sambil bernyanyi-nyanyi lewat didepan istana Binjai. Sore, beberapa orang datang ke istana mengambil Amir dengan alasan “dipinjam” sebentar. Nanti akan dibawa kembali....” Karena mendapat tanggapan yang kurang memuaskan, pada malam harinya diadakanlah penangkapan-penangkapan terhadap Bupati Tengku Amir Hamzah, dan petinggi-petinggi lainnya yang jumlah mencapai 18 orang. Mereka dibawa ke kebon Lada dan pada tanggal 19 maret, mereka kesemuanya menemui ajalnya setelah disiksa kemudian dipancung mati. 

Sementara di Istana Sultan Langkat di Tanjung Pura, utusan Volksfront menemui Sultan. Pihak Volksfront menuntut demi menghindarkan pertumpahan darah kekuasaan pemerintahan diserahkan saja sebab banyak rakyat sudah tidak senang lagi pada kerajaan. Suasana genting seperti itu membuat banyak keluarga-keluarga bangsawan mengungsi kedalam istana Sultan sehingga dalam satu hari saja sudah ada 200 keluarga menginap disana. Volksfront selanjutnya memblokir lingkungan istana. Pada tanggal 7 Maret tepat jam 12.00 tengah malam, opas istana memukul loncen didepan, tiba-tiba seluruhnya lampu-lampu listrik di kota Tg. Pura serentak gelap. Disaat pukulan yang ke 12 kalinya, berdentumlah tembakan serentak dan kedua opas itupun rubuh terkapar. Kemudian tembakan-tembakan gencar ditujukan ke arah dalam istana tiada terkira bahananya lagi. Berbarengan dengan itu terdengar suara riuh rendah, gegap gempita gerombolan laskar buka baju dengan senjata api dan bambu runcing melewati pintu pagar istana dan menghancurkan segala pintu, memasuki istana. 

Semua penghuni istana dikumpulkan dan segala senjata tajam sampai pisau-pisau dapurpun harus diserahkan. Menjelang subuh hari semua isi istana, keluarga sultan dan orang-orang besar yang ada dibariskan dan dengan sehelai sepinggang dipaksa berjalan kaki menuju perkebunan Sawit Seberang. Rombongan ini selanjutnya dipecah-pecah menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama di bawa ke dekat sungai disekitar Sawit seberang dan langsung dipenggal kepalanya satu persatu. Sementara kelompok Sultan dengan anak istrinya tiba diperkebunan Sawit Seberang. Disini, kepala gerombolan komunis : Marwan dan Usman Parinduri menanya 3 orang putri Sultan yang masih remaja, apakah mereka bersedia menebus nyawa ayah mereka? Bersedia. Jawab mereka serentak. Bagaimana? Jika kalian mau bersetubuh dengan kami, maka nyawa ayah kalian akan diselamatkan. 

Dua orang putri Sultan dengan lemah lunglai maju kedepan dan bermohon kepada kedua orang sadis itu agar adik mereka yang masih dibawah umur janganlah turut diperkosa. Hal ini diperkenankan. Kemudian kedua orang putri itu digiringlah ke kamar sebelah dan digolekkan diatas 2 buah meja. Kemudian Marwan dan usman parinduri dengan nafsu sadis kebinatangannya yang tak terkendalikan lagi mulailah mengoyak-ngoyak baju dan celana-celana kedua puteri itu dan menerkam lalu memperkosa mereka. (disarikan dari Luckman Sinar : 496-497) Para tawanan kesultanan Langkat sebagian ditawan di kamp umum di kampung Merdeka (Berastagi), kamp yang terkenal ganas. Sebagian diantaranya, termasuk puteri Sultan diselamatkan pasukan TKR dan dibawa ke Medan. Belakangan, setelah ditangkap laskar rakyat Hizbullah (kelompok yang bersimpati terhadap kesultnan langkat), dua pimpinan laskar yang juga pemerkosa puteri Sultan itu mengakui perbuatannya dan ada 13 orang yang dibunuh disekitar Sawit Seberang. 
kesaksian Muhammad Yasir, salah satu dari keluarga Kesultanan Asahan atas persitiwa tersebut. Disebutkan bahwa pagi hari 3 Maret 1946, yasir melihat sekelompok orang merayap ke arah istana. Yasir melihat pakaian mereka biasa saja. Tapi mereka membawa senjata api, juga senjata tajam. “ontu, tengok itu, Ntu!” ujar yasir pada sang ayah sambil menunjuk ke arah lapangan. Melihat apa yang terjadi, mereka kemudian masuk ke rumah. Pukul enam pagi itu, Istana diserang sekelompok orang dari berbagai laskar. Mereka disebut-sebut berasal dari Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Ku tui sin tai (Barisan harimau Liar), barisan Merah/Partai Komunis Indonesia, Hizbullah, buruh-buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani. 

Tidak diketahui unsur-unsur pasti dari laskar itu. Seluruh keluarga dan kerabat kesultanan melayu Islam serta orang-orang yang bekerja untuk istana di tangkap. Harta benda mereka disita. Sultan Sjaiboen Abdoel Djalil rachmatsyah, Sultan Asahan waktu itu melarikan diri dari belakang istana. Dia menuju markas Jepang. Keluarga kesultanan selanjutnya ditahan di sebuah rumah. Didalamnya terjejal ratusan orang. Sempit dan sesak. Anak-anak dan perempuan dimasukkan kedalam satu rumah yang sama. Sehari-hari mereka diberi makan beras dan ikan asin untuk dimakan. Beras dan ikan itu harus dimasak sendiri. 

 Keganasan para laskar itu terbukti dari 73 nama yang terpahat di batu nisan, dipemakaman depan mesjid raya Tuan Ahmadsyah, Tanjung Balai. Ini adalah kuburan massal kesultanan Asahan, yang terdiri dari para petinggi kesultanan, kaum cerdik pandai dan juga masyarakat umum. Jasad-jasad yang ada dikuburan tersebut pada mulanya ditemukan dalam bentuk tulang belulang yang terserak di sungai Lendir, sebuah kampung di Asahan, yang untuk mencapainya harus menggunakan perahu atau boat.

Komentar