ORGANISASI ISLAM SEBELIM KEMERDEKAAN DI INDONESIA

pendiri organisasi islam 
Dalam Ajaran Islam menegakkan keadilan dan menumpas kezaliman adalah sebuah kewajiban. Semangat dan keyakinan inilah yang mendasari sebuah gerakan yang terstruktur untuk melawan penindasan  bangsa asing..
1.      Terbentuknya Partai Islam dan MIAI
Pasca melemahnya Sarekat Islam (SI), perjuangan umat Islam terwadahi dalam Partai Islam Indonesia (PII). Sebenarnya partai tersebut berdiri dikarena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, dan salah satunya adalah penerapan disiplin partai oleh Sarikat Islam (SI)[1]. Perpecahan ditubuh SI tidak dapat dihindarkan, ditandai dengan keluarnya Sukiman pada tahun 1932, dan H. Agus Salim 1936 yang mendirikan partai baru dengan nama Penyadar[2]. Keadaan yang menimpa partai ini menjadikan beberapa orang pemimpin Islam prihatin. Mereka ingin melihat adanya partai Islam yang kuat dan mendapat dukungan dari seluruh umat Islam. Menanggapi situasi ini, KH. Mas Mansyur menuliskan keprihatinannya, yakni jangan memakai dicipline kepada sesama Islam; jangan hijrah dijadikan pokok dasar dalam perjuangan; dan jangan memikirkan lain daripada soal politik. Sementara itu, soal Onderwijs dan sosial biarlah dipikirkan oleh perhimpunan-perhimpunan yang sudah ada, seperti Muhammadiyah dan Taman Siswa[3]. Para pemimpin Islam yang kebanyakan terdiri dari Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah mempertimbangkan untuk mendirikan sebuah partai baru. Kemudian diadakan persidangan, hingga pada sidang terakhir yakni pada tanggal 4 Desember 1938 di rumah dr. Satiman, Surakarta, yang dihadiri oleh 23 orang ulama dan pemimpin Islam, disepakati untuk membentuk partai baru bernama Partai Islam Indonesia (PII)[4].
Pada awal berdirinya, PII baru memikirkan masalah praktis di antaranya menuntut Indonesia berparlemen kepada pemerintah Hindia Belanda. Baru kemudian menyusun program bersifat secara menyeluruh, mengirimkan juru kampanye untuk menarik anggota-anggota di seluruh Nusantara. Alhasil pada tahun 1939, PII sudah memiliki 41 cabang dan tahun berikutnya 125 cabang[5]. Pada kongres pertama di Yogyakarta tahun 1938, tuntutan PII lebih visioner, yakni menghendaki negara kesatuan Indonesia yang lebih demokratis, dengan suatu parlemen dan lembaga perwakilan lainnya, berdasarkan pemilihan umum yang bersifat langsung dan umum[6]. PII juga menginginkan Indonesianisasi dari anggota staf pemerintahan, perluasan hak-hak politik, kemedekaan berbicara, mengeluarkan pendapat, perluasan hak-hak politik dan kemerdekaan pers. Tuntutan PII yang lainnya, dalam bidang agama adalah penghapusan peraturan yang menghambat Islam, penghapusan subsidi bagi semua agama, pada bidang ekonomi, PII menuntut penyerahan perusahaan vital kepada negara, hapusnya imigrasi, hapusnya pajak yang memberatkan rakyat, dan perlindungan perusahaan-perusahaan Bumiputera terhadap saingan dan tekanan perusahaan asing[7]. Pada kongres PII yang kedua di solo, tanggal 25-27 Juli 1941, secara resmi mengemukakan bersedia untuk menjadi anggota Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Selain itu, PII juga bergabung dengan MIAI dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI)[8]. Keputusan tersebut dilakukan karena pemaksaan kebijakan Jepang yang membatasi gerak seluruh partai politik di Indonesia
Tujuan dibentuknya MIAI ini adalah untuk membicarakan dan memutuskan perkara yang dipandang penting bagi kemaslahatan umat Islam. Keputusan tersebut harus dipegang teguh dan dilakukan bersama-sama oleh segenap perhimpunanperhimpunan yang menjadi anggotanya. Hal ini dikarenakan perlunya persatuan kegiatan kaum Muslimin di tanah air dan umumnya kaum Muslimin di dunia. Selanjutnya, akan diusahakan untuk mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan umat Islam Indonesia, baik yang telah tergabung. dengan MIAI, maupun yang belum[9]. Cita-cita persatuan tersebut dijelaskan melalui panitia kecil yang terdiri dari Abikusno dari SI, K.H Mas Mansyur dan Ki Bagus Hadikusuma dari Muhammadiyah, dan Sukiman dari PII, menyusun pedoman tentang perlunya persatuan berdasarkan Al-Qur’an[10].
Keberadaan MIAI memang sangat memberi kontribusi sangat banyak bagi umat Islam. Terbitnya Suara Islam adalah salah satu keuntungan besar bagi para pemimpin Islam, sebab hal itu tidak bisa didapatkan oleh kaum nasionalis yang sebelumnya telah beberapa kali mengajukan permohonan kepada pemerintahan Jepang untuk menerbitkan majalah[11]. Akan tetapi, setelah Jepang menyadari bahwa MIAI bermanfaat bagi umat Islam dan tidak memberikan keuntungan terhadap pemerintahan Jepang, maka pada akhir 1943 Jepang membubarkan MIAI. Tindakan Jepang ini menjadikan pukulan yang sangat berat bagi umat Islam.
2.      Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (NU) dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan bangsa, negara dan senantiasa dilandasi oleh dasar sharī’at Islam dan nilai-nilai ke-Islam-an, juga didasari atas nilai-nilai ke-Indonesia-an dan semangat nasionalisme yang tinggi, hal ini dapat kita lihat bagaimana latar belakang Nahdlatul Ulama ini lahir, bagaimana peranannya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan keutuhan NKRI. NU pimpinan KH. Hasyim Asy'ari sangat menjunjung tinggi nilainilai kebangsaan, nasionalisme yang berdasarkan atas syari’at Islam ‘alā Ahl alSunnah wal al-Jamā’ah[12]. Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan. Belanda dapat dilihat pada keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-2 di Banjarmasin pada tahun 1936, yang memutuskan bahwa kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dār al-Salām, yang menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan nusa-bangsa. Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat agamanya dengan bebas dan aman. Pandangan Nahdlatul Ulama bahwa perjuangan jihad ulama dalam mengusir penjajah Belanda sebenarnya adalah tuntunan ajaran agama Islam yang harus dilaksanakan setiap umat-Nya sebagai bentuk manivestasi rasa syukur terhadap Allah yang Mahakuasa. Jihad yang dilakukan oleh ulama dan santrinya ialah jihad membela tanah air, sebagai bentuk cinta tanah air (ḥubb al-waṭan) yang dimaknai sebagai jihād fī sabīlillāh. Karena upaya mempertahankan dan menegakkan negara Republik Indonesia dalam pandangan hukum Islam merupakan bagian dari kewajiban agama yang harus dijalankan umat Islam[13]. Peran NU dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia: Keterlibatan Ulama NU dalam Mengusir Penjajah Belanda. sebagai Panitia Persiapan Kemerdekaan RI. Mempertahankan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)



[1] 5Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Grafiti Pers, 1987), hlm. 255-258
[2]Ibid., hlm. 175-176
[3] Mas Mansyur, “Apa Sebabnya Partai Islam Indonesia didirikan?”, dalam Wirjosoekarto, AmirHamzah (ed), Mas Mansyur: Pemikiran tentang Islam dan Muhammadiyah, (Yogyakarta:Hanindita,1986), hlm. 137
[4] Suhatno, Ki Bagus Hadikusumo: Hasil Karya dan Pengambdiannya, (Jakarta: Proyek DSN Ditjaranita-Depdikbud, 1982), hlm. 63.
[5] Deliar Noer, op.cit., hlm. 178.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hlm. 179.
[9] Buku peringatan MIAI 1937-1941, (Surabaya: MIAI, 1941), hlm. 4.
[10] Deliar Noer, op.cit., hlm 263.
[11] Harry J. Benda, op. cit., hlm. 149.
[12] 2Diantara motif pendirian NU adalah untuk mempertahankan paham Ahlu al-Sunnah wal alJamā’ah. NU lahir untuk membentengi umat Islam khususnya di Indonesia agar tetap teguh pada ajaran Islam Ahlu al-sunnah wal al-jamā’ah, sehingga tidak tergiur dengan ajaran-ajaran baru. Pembawa ajaran-ajaran bid'ah yang sesat, keberadaan NU adalah ormas yang membawa konsep tawassut, tawazun, ta’adul dan tasamuh, sehingga kelahiran NU mempunyai tujuan untuk bersikap moderat dalam memahami agama sesuai dengan ajaran Ahlu al-sunnah wal al-jamā’ah. Lihat dalam buku: Drs. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU (Surabaya: Bisma Satu Press, 1998), h. 36. Lihat, KH. Achmad Siddiq, Islam, Pancasila dan Ukhuwah Islamiyyah (Jakarta: Lajnah wa al-Nars PBNU dan Penerbit Sumber Barokah, 1985), h. 18-21.
[13] Sebagaimana dijelaskan dalam buku sejarah peran Ulama NU dalam mengusir penjajah Belanda merupakan anjuran agama yang wajib dijalankan. Hukum tersebut sudah menjadi keputusan para kiai, yang akhirnya melahirkan “resolusi jihad”. Resolusi ini menjadi pegangan ampuh para pasukan santri yang tergabung dalam laskar ḥizbullāh maupun laskar sabīlillāh, Lihat, Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama dan santrinya & Resolusi Jihad; Garda Depan Menegakkan Indonesia 1945-1949 (Jakarta: Pustaka Compass Tangerang, 1998), h. 208.

Komentar