REVOLUSI SOSIAL DI SIMALUNGUN


   Secara teoritis, revolusi adalah wujud perubahan sosial paling spektakuler; sebagai tanda perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan ulang masyarakat dari dalam dan pembentukan ulangmanusia. Revolusi tidak menyisakan apapun dari keadaannya sebelumnya.[13] Dalam pengertian ini menurut Stzompka, revolusi adalah tanda kesejahteraan sosial. Jalannya revolusi menurut para sosiolog berada dalam sepupuh tahapan, yang pertama sekali didahului oleh kondisi khas yang disebut “revolutionary prodrome” yang ditandai oleh ketidakpuasan, keluhan, kekacauan dan konflik yang disebabkan krisis ekonomi atau fiskal. Selanjutnya menjalar pada perpindahan kesetiaan intelektual sebagai hasil agitasi kelompok tertentu dengan cara-cara tertentu seperti penyebaran pamflet atau doktrin yang menentang rezim yang lama.[14]



  Dari paparan teoritis ini, revolusi muncul akibat adanya ketidakpuasan yang selanjutnya disulut oleh agitasi dan provokasi dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan menunjukkan kelemahan atau rasa kebencian pada rezim yang akan dijatuhkan. Artinya suatu revolusi tidak pernah berjalan spontan, dia berada dalam posisi direncanakan secara rapi dengan memanfaatkan situasi ketidakpuasan publik. Jadi sangat tidak benar bila dikatakan bahwa revolusi sosial di Sumatera Timur itu adalah suatu peristiwa yang berjalan spontan. Kasus revolusi sosial (yang pertama sekali diungkapkan oleh dr. Amir) yang terjadi di Sumatera Timur itu betul-betul suatu gerakan yang sudah direncanakan secara matang oleh kelompok-kelompok yang punya kepentingan dengan pembantaian para kaum bangsawan dan cendekiawan Sumatera Timur itu. Untuk kasus di Sumatera Timur, sudah jelas otak di balik serangkaian tindakan kejam di luar perikemanusiaan itu adalah Markas Agung yang dilaksanakan Volksfront dengan pimpinan utama Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M. Saleh Umar, Nathar Zainuddin dan Abdul Xarim MS yang bekerja di balik layar.[15] Laskar yang berperan dalam aksi ini adalah Pesindo, Napindo, Barisan Harimau Liar, Barisan Merah (PKI) dan Hizbullah didukung buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani, demikian ulasan majalah Tempo edisi 50/Feb/1997.[16]



Motif pembantaian kaum aristokrat dan cendekiawan Sumatera Timur lebih dominan pada intrik politik dan balas dendam, seperti dituturkan saksi mata Maxinius Hutasoit, “Sudah tentu bahwa dalam revolusi sosial itu terselundup pula segala macam hal yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya secara obyektif dengan persoalan feodal. Kepentingan-kepentingan sendiri diboncengkan, dendam pribadi dibalas, nafsu rendah memperoleh pelampiasannya”.[17] Apa yang dikatakan oleh saksi mata di atas akan kita lihat kebenarannya pada uraian selanjutnya.



Sungguh beruntung kita mendapat informasi terkini dari saksi mata hidup dari kalangan korban revolusi sosial Tengku Luckman Sinar tentang duduk perkara Comite van Onvangst (Panitia Penyambutan) yang dijadikan dasar tuduhan dari golongan kiri membenarkan tindakan kejam yang disebut mereka revolusi sosial itu. Menurut keterangan Tengku Luckman Sinar, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Jakarta, berita itu masih desas-desus di Sumatera (maklum komunikasi tidak secanggih sekarang ini). Berita seperti itu pun cenderung ditutupi kantor-kantor berita pemerintah fasis Jepang. Muncul desas-desus bahwa tentara Sekutu (Belanda, Inggris, Amerika) akan masuk ke Sumatera mengurus tawanan perang Jepang setelah kekalahan Jepang terhadap Sekutu. Atas inisiatif Tengku Mansyur (kerabat Sultan Asahan) selaku Ketua Shu Sangi Kai Sumatera Timur pada tanggal 25 Agustus 1945 mengundang para tokoh dan penguasa tradisional Sumatera Timur ke rumahnya di Jl Raja/Jl. Amaliun Medan, seperti Xarim MS dan Mr. Yusuf berunding di rumahnya membentuk panitia diketuai Sultan Langkat dan wakil ketua Tengku Mansyur untuk menjelaskan kepada Sekutu alasan mereka bekerjasama dengan Jepang. Panitia inilah yang diisukan kaum kiri sebagai Comite van Onvangst, panitia yang akan menangkapi para tokoh kemerdekaan.[18] Tuduhan yang sampai hari ini tidak terbukti, meskipun para pelaku revolusi sosial telah menggeledah dan membakar istana-istana raja Simalungun, sultan Melayu dan Sibayak Karo. Slogan-slogan bernada revolusioner, seperti “rajar-raja penghisap darah rakyat”, “kaum feodal yang harus dibunuh” dan lagu “Darah Rakyat” menggelora di mana-mana. Para provokator ini kebanyakan adalah dari etnis bukan Simalungun, selain A. E. Saragihras yang menjadi eksekutor di lapangan, tidak diketahui apakah ada etnis Simalungun yang duduk di belakang meja mengatur tindakan biadab itu. Tetapi sudah pasti berdasarkan dokumen rahasia dari pihak Sekutu tanggal 2 Maret 1946 (sehari sebelum revolusi) sudah mereka ketahui bahwa PKI dan Harimau Liar bekerjasama erat sekali dalam tindakan itu. Volksfront (front perjuangan rakyat) dan PARSI yang berdiri pertengahan Februari 1946 yang mana “Pasukan Kelima” dari dr. F. J. Nainggolan turut bergabung. Pesindo sendiri selaku organisasi pemuda pejuang sudah sedemikian rupa dipengaruhi oleh PKI. Tetapi yang lebih mengejutkan dari penelitian Tengku Luckman Sinar, ternyata aksi revolusi sosial itu ternyata sudah lama juga direncanakan pihak penjajah Belanda sejak tahun 1906, di mana kekuasaan kerajaan bumiputera semakin diperkecil, bahkan ada yang dihapus, seperti kerajaan Riau (1911). Pada tahun 1926, Belanda sudah mengangkat panitia untuk itu yaitu Extraterritorialiteitcommisie yang bertujuan bahwa wilayah pemerintahan sendiri yang otonomi itu harus dilenyapkan secara perlahan-lahan dan tatkala raja-raja sudah tidak ada lagi maka demokrasi lokal akan berkembang dan hapuslah kerajaan bumiputera itu.[19] Dan untuk tujuan itu, Belanda telah memakai agennya bernama dr. Amir wakil gubernur Sumatra seorang teosof lulusan Belanda yang beristrikan seorang perempuan Belanda (yang pada zaman Belanda sudah disamakan statusnya dengan Belanda)yang membelot ke NICA pada 23 April 1946. Dia kemudian meninggal di Belanda tahun 1949.[20]



Pembantaian atas kaum bangsawan Simalungun ini memang sejarah yang sulit diterima logika, sebab hanya dengan alasan “antek penjajah” yang dialamatkan kepada kaum bangsawan Sumatera Timur sudah menjadi dasar untuk tindakan pembantaian, perampokan bahkan pemerkosaan yang jelas tindakan manusia-manusia yang tidak bertuhan. Tengku Luckman Sinar dari hasil penelitiannya membuktikan bahwa tindakan segerombolan orang yang mengaku republikein itu merupakan proyek rahasia dari Markas Agung pimpinan komunis Sarwono dan Zainal Baharuddin dan Saleh Umar serta eksekutor lapangan A. E. Saragihras dari Barisan Harimau Liar (BHL) di Simalungun. Dalam pemeriksaan oleh pihak berwajib mereka mengaku bahwa tindakan itu digerakkan atas perintah Sarwono, Saleh Umar dan Yacob Siregar sebagai gembongnya untuk menghapuskan kerajaan di Sumatera Timur yang dituduh penghalang pada kemerdekaan. Eksekusi dilaksanakan mulai pukul 00.00 WIB tanggal 3-4 Maret 1946 tepat pada saat Gubernur Sumatera tidak berada di Medan, sebab pada hari itu Gubernur sudah “sengaja” diatur Markas Agung untuk kunjungan ke Sumatera Selatan. Kehadiran Gubernur Teuku Mohammad Hasan di Medan dianggap akan menggagalkan rencana Markas Agung tersebut. Wakil Gubernur Mohammad Amir yang sepaham dengan Markas Agung (Residen Abdul Karim) mengatur perjalanan Gubernur mulai 6 Februari 1946. Di saat Gubernur tidak berada di Medan, dilancarkanlah aksi pembantaian tersebut. Sehari sebelum gubernur berangkat, Residen Sumatera Timur Tengku Hafas (yang kemudian dipecat Markas Agung) mengunjungi gubernur di rumahnya, mengungkapkan firasat buruknya, bahwa sepeninggal gubernur akan terjadi suatu peristiwa. Ternyata firasat Tengku Hafas benar. Teuku Hasan menulis: “Firasat itu benar, 1 Maret bertempat di kediaman Mr. Luat Siregar di Medan, volksfront/PKI—M. Yunus Nasution dan Marzuki Lubis bersama divisi IV-TRI-Kol. A. Tahir dan Mahruzar (adik Sutan Syahrir), dan dengan bantuan wakil gubernur Moh. Amir—bermusyawarah untuk menumpas kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur pada tanggal 3 Maret 1946. [21]

Komentar