Perbedaan Sistem Tanam Paksa di Jawa dan Sumatera Bagian Barat (Tapanuli dan Minangkabau)

            Sistem Tanam Paksa merupakan proses mobilisasi sumber perekonomian melalui alat birokrasi pemerintah. Sumber perekonomian itu diantaranya berupa tenaga kerja dan tanah.2 Praktek peraturan dikatakan tidak berarti, sebab seluruh wilayah pertanian wajib ditanam tanaman yang laku di pasar dunia serta hasilnya diserahkan kepada pemerintah Belanda. Sistem Tanam Paksa merupakan suatu sistem yang diberlakukan oleh Gubernur Johannes Van Den Bosch. Gubernur van den Bosch menyuruh desa memisahkan sebagian tanahnya untuk kepentingan Belanda untuk ditanami tanaman wajib paksa.

            Sistem Tanam Paksa tidak hanya diberlakukan di Pulau Jawa akan tetapi di Sumatera Barat juga diterapkan Sistem Tanam Paksa oleh Van Den Bosch.Sistem Tanam Paksa ini diterapkan di Minangkabau, dan menunjukkan bagaimana paksaan itu melahirkan stagnasi dalam ekonomi masyarakat Sumatera Barat yang sebelumnya sangat giat dan aktif, suatu keadaan yang ditambah lagi dengan kemacetan politik pada dasawarsa terakhir dari abad ke 19.

            Sesuai yang pernah dialami pemerintahan kolonial dalam mengelola sektor pertanian di Pulau Jawa juga berdampak ke luar Pulau Jawa.Ketika terjadi perluasan kekuasaankolonial selama abad ke 19.Belanda mencoba menyatukan kekuasaannya yang bertebaran menjadi suatu perpaduan politik dan ekonomi yang nyata dibawah atribut negara kolonial yang bernama Hindia Belanda. Sedangkan di Minangkabau sendiri, sosok lain dari kebijaksanaan ekonomi yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda muncul dalam bentuk yang disebut Sistem Tanam Paksa Kopi.

            Pada masa sebelum colonial, kehidupan perekonomian di nagari-nagari dataran tinggi Minangkabaucenderung bersifat subsistensi, artinya mencukupi kebutuhan poko yang ada disuatu nagari itu sendiri.Penduduknya menanam padi.Hanya sebagian kecil saja yang bergerak dibidang pertenunan, pandai besi atau perdagangan.

            Penerapan Sistem Tanam Paksa kopi diajukan Gubernur Michiels yang mewajibkan setiap keluarga menanamsekurang-kurangnya 150 batang kopi.Diharapkan dari 150 batang kopi tersebut satu batang kopi bias menghasilkan 1,05 pikul setiap tahunnya. Gubernur Michiels percaya bahwa dengan membangun infrastruktur utama seperti jalan yang menghubungkan daerah pedalaman dengan pusat pengumpulan kopi akan menjadi ramai datang mengantarkan hasil panennya.

            Tempat pertumbuhan spektakuler yang paling banyak ditunjukanoleh schrieke di daerah yang sama sekali terpencil dari daerah Pusat "Minangkabau”, seperti Kerinci, di Muaro Bungo di Selatan, Talu, Ophir, Cubadak di Utara,'Bangkiang (Bangkinang) di 'Timur dan lain-lain. Daerah tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting di seluruh Minangkabau, tetapi mereka terletak di luar daerah jantung; (pusat) Minangkabau, dan di luar perkampungan penduduk

            Kemungkinan besar VOC telah membawa biji-bijian dari Moka beberapa puluh tahun sesudah mereka sampai di Jawa.Rupa-rupanya orang segera gemar minum kopi, sebab VOC telah memasukkannya dalam daftar barang dagangan.Akhir abad ke-17 kopi mulai ditanam sendiri, terutama di daerah-daerah pinggiran Batavia, Pariangan dan Cirebon.Selama zaman Cultuurstelsel, kopi praktis adalah satu-satunya yang paling banyak memberi keuntungan dan paling lama dipertahankan.Karena pengalaman yang baik di Jawa inilah, Van den Bosch ingin meluaskan sistem Cultuurstelsel-nya ke Pulau Sumatra. Fase awal dari Sistem Tanam Paksa menemukan banyak kesulitan, bukan saja karena masalah kurangnya prasarana akan tetapi juga kurangnya tenaga-tenaga terampil yang sangat diperlukan terutama dalam urusan administrasi digudang kopi.

            Pengumuman Michiels hanya formalitas saja, kecuali jual paksa pada pemerintah segala kebijaksanaan diambil sebelumnya telah bertentangan dengan jiwa plakat panjang.Hasil Sistem Tanam Paksa di Sumatera Barat tidak mencapai tujuan.Jadi sewaktu peraturan itu diberlakukan ada tiga macam kebun kopi.Pertama karena kopi telah dikerjakan rakyat secara turun-temurun secara tidak teratur di hutan-hutan dekat kampung atau sebagai pagar dipekarangan, kedua kebun-kebun oleh rakyat sendiri dianjurkan oleh para kepalanya tanpa bayaran, ketiga kebun-kebun luas dan teratur, dikerjakan dan dirawat rakyat dibawah control orang-orang Belanda serta letaknya jauh dari pemukiman.

            Hasil Tanam Paksa Kopi mulai terlihat setelah tiga atau empat tahun. Setelah itu, beberapa tahun kedepannya produksi kopi memperlihatkan kecenderungan meningkat, hingga akhirnya mencapai puncak produk sinya pada saat berumur 5 tahun sampai dengan 20 tahun. Oleh karena itu selama tahun 1850an hingga 1860 kopi hasil Tanam Paksa menjadi salah satu produksi unggulan Pantai Barat Sumatera. Sistem Tanam Paksa membuat rakyat menderita di Sumatera Barat.Meskipun menderita karena system ini rakyat tetap dapat bertahan dalam kegiatan berdagang ini, meskipun cenderung menderita tekanan dari kebijaksanaan pemerintah colonial, tidaklah mengalami kepunahan.

            Sistem Tanam Paksa di Jawa dilatar belakangi oleh kekosongan kas Belanda. Kas Belanda kosong terjadi akibat banyaknya peperangan.Di Jawa Sistem Tanam Paksa diterapkan oleh Van den Bosch, dimana rakyat disuruh menanam tanaman yang mempunyai nilai jual di pasar internasional.Akibat dari penerapan Sistem Tanam Paksa ini rakyat Jawa mengalami keterpurukan.Orang Jawa karena sudah terbiasa dengan Sistem seperti ini mereka hanya menurut saja.Tidak dapat dipungkiri di daerah Jawa sangat kental dengan hubungan antara raja dan rakyat.Istilah Gusti Kaula sangat popular di Jawa.Tidak hanya di Pulau Jawa di Sumatera Barat juga diterapkan Sistem Tanam Paksa.Berbeda dari Pulau Jawa di Sumatera Barat tanaman wajibnya ialah kopi.

Kopi di Padangsche bovenlanden harus duijual pada pemerintah franco pakus(pakhuis, gudang) atau tempat-tempat penampungan yang disediakan, dengan bayaran kontan. Kopi tersebut merupakan Tanam Wajib Paksa di Sumatera Barat. Sedangkan di Jawa ketentuan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya sekitar 20% untuk ditanami komoditi pasar dunia seperti nila, tebu dan kopi.

            Dampak dari pelaksanaan Sistem Tanam Paksa Jawa dipengaruhi unsur tanah yang dikaitkan dengan sistem ekonomi desa serta muncul tenaga buruh yang murah dan lahir bentuk modal desa. Belanda memperoleh keuntungan yang banyak dari pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Jawa. Selain munculnya tenaga buruh yang murah dampak lain dari pelaksaan Sistem Tanam Paksa adalah waktu yang dibutuhkan untuk menggarap budidaya tanaman ekspor seringkali menggangu kegiatan tanam padi. Lahan untuk tanam kopi dan padi biasanya bentrok sehingga menyebabkan rakyat menderita. Dampak dari pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Sumatera Barat terlihat ketika Michiels mengingkari isi Plakat Panjang.

            Dampak dari budidaya Tanam Paksa Kopi terlihat dalam produksi beras dimana tenaga kerja dulu yang mengerjakan sawah sekarang berganti profesi mengerjakan kopi, rakyat yang dulunya berkecukupan dari hasil penjualan beras sekarang kurang memenuhi kebutuhan hidupnya hal ini salah satu penyebab dari dampak Tanam Paksa kopi. Selain dampak ini ada dampak lain dari Tanam Paksa kopi yaitu Kopi sering kali diganti metode menanamnya hal tersebut ulah dari mandor-mandor yang sering diganti ganti.

Para bejabat sangat ketat dalam aturan Tanam Paksa dan tidak boleh satu orangpun yang boleh melanggar isi perjanjian Plakat Panjang namun sebenarnya pejabat Belandalah yang melanggar isi dari Plakat Panjang tersebut.Setiap pengontrol tenaga kerja mempunyai banyak mandor mandor. Akibat  mempunyai banyak mandor sebagai pembantu tentu saja mereka berupaya memeras rakyat Sumatera Barat untuk memberi gaji mandor-mandornya tersebut.Gaji yang diberikan kepada mandor mereka tersebut sebenarnya uang dari hasil perasan rakyat Sumatera Barat yang diakali dengan memberikan berbagai macam denda jika terjadi pelanggaran.Tangan besi yang dijalankan paling keras di daerah Bandar Sepuluh (Painan).

Tanah yang dipergunakan untuk kepentigan tanam paksa sebenarnya tidak pernah mencakup seluruh tanah pertanian yang ada di Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya menempati sekitar 5% dari seluruh tanah pertanian dan seperlima dari persawahan yang ada. Sekalipun areal yang digunakan relatif terbatas, namun sistem tanam paksa mempengaruhi seluruh karakter sistem administrasi kolonial.

Penanaman tebu lebih dominan dilakukan di daerah-daerah pantai utara Jawa yang baik, seperti di Karesidenan Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, Surabaya dan Pasuruan. Ini dikarenakan dalam menanam tebu diperlukan tanah persawahan yang baik, karena tanaman tebu memerlukan irigasi yang baik. Pelaksaan tanaman tebu di berbagai daerah tersebut berbeda-beda, tetapi tetap dengan patokan-patokan yang diterapkan oleh Batavia. Ini berarti bahwa petani-petani di Jawa diatur oleh pemerintah untuk menanami beberapa persen dari tanah mereka denngan tebu. Mereka lalu wajib menyetor panen tebu ke penggilingan di wilayah mereka, dengan imbalan yang bergantung pada jumlah dan mutu panen yang disetor. Pabrik penggilingan tebu tersebut kemudian menjadi hasil panen dalam bentuk gula kepada perusahaan dagang pemerintah yaitu Nederladsche Handel Maatschappij. Perusahaan ini bertanggung jawab atas pengiriman gula ke negeri Belanda untuk di lelang.

            Tanaman indigo merupakan salah satu tanaman yang menggunakan sistem rotasi dengan tanaman utama yaitu padi. Sebelm dimulai penanaman, para petani harus membongkar jaringan pematang dan saluran yang lazimnya digunakan untuk penanaman padi setelah panen tanaman ekspor. Untuk tanaman indigo, harus digarap oleh beberapa desa secara bersamasama. Dalam penanaman indigo para petani tidak hanya diwajibkan tanaman dan merawat tanaman, tetapi juga wajib mengambil hasil panen (3-4 kali setahun), mengangkut daun nila ke pabrik kemudian mengerjakan pengolahan nila dalam proses tidak sedap hingga menghasilkan lempengan bahan pewarna indigo. Pemberian upah di dasarkan pada banyaknya bahan pewarna yang dihasilkan dari nila yang diserahkan para petani..

            Sistem Tanam Paksa di Jawa berakhir pada tahun 1870.   pada tahun 1870 partai Liberal menang sehingga rakyat Hindia Belanda juga mengalami imbasnya dan akhirnya kebijakan Sistem Tanam Paksa diganti dengan kebijakan Liberal. Sedangkan Sistem Tanam Paksa di Sumatera Barat berakhir pada tahun 1908. Dengan dipaksakannya penduduk membayar pajak dengan uang, maka kini berkembang ekonomi uang.

            Sistem Tanam Paksa di Jawa menjadikan kas Belanda terisi. Karena pelaksanaan Sistem Tanam Paksa ini menguntungkan di Jawa ternyata Belanda juga menerapkan Sistem Tanam Paksa di Sumatera Barat alaasn Belanda juga menerapkan system ini di Sumatera Barat tentu karena orang Belanda juga berfikir bahwa Sumatera Barat juga akan memberikan keuntungan untuk mengisi kas Belanda. Akan tetapi pada pelaksaaannya di Sistem Tanam Paksa Sumatera Barat Belanda tidak menemui hasil dan bisadikatakan mengalami kegagalan di Sumatera Barat.Walaupun mengalami kegagalan penerapan Sistem Tanam Paksa ini tetap saja membuat orang Sumatera Barat menderita pada saat dilaksanakannya Sistem Tanam Paksa ini. Dari penjabaran peneliti diatas disimpulkan Sistem Tanam Paksa Sumatera Barat dengan Jawa berbeda.

Komentar